Hadir dalam pertemuan doa KDM seperti ini membuat saya bersyukur dan merasa tenang, karena adanya KDM membuat saya sebagai oblat merasa tak sendiri. Saya merasa didukung, didoakan, meski dalam praktik saya selalu menjalani hidup sendirian. Demikian kesaksian Rm Simon Heru OMI dalam pertemuan Doa KDM Yogyakarta, Kamis (01-08-2019) di Novisiat OMI Blotan, Yogyakarta.
Lebih lanjut Rm Heru mengatakan, ini kali kedua dirinya diminta memberi kesaksian sebagai oblat, tetapi baru kali ini kesampaian. Beliau lalu menuturkan pernah tinggal pasturan di Tarakan yang di lantai atas ada ruang doa senakel. Rm Heru pernah ikut berdoa di ruangan itu, meski sekarang tak ada orang berdoa di sana.
Menurut Rm Heru, didoakan orang lain adalah dukungan yang menguatkan, terlebih bagi oblat seperti dirinya saat berkarya sendirian di tanah misi. Pertama kali tugas di Mensalong, yang didiami penduduk yang disebut suku yang ketinggalan. Tapi mereka lebih suka disebut suku yang ketinggalan daripada suku yang bercawat. Mereka menjunjung adat sangat kuat. Sebagai contoh, pesta kematian dilaksanakn sampai berbulan-bulan. Stel tape keras dan semua orang berjoget karena beranggapan keluarga yang mengalami kesedihan harus dihibur. Speaker salon banyak yang jebol sebab distel kuat-kuat. "Bagi saya waktu itu yang menjadi keprihatian bukan soal pesta di saat kesedihan, tetapi bagaimana harus menjamu tamu sekian banyak setiap malam."
Selama berada di Mensalong, muncul kesadaran mungkin tak bisa mengubah budaya seperti itu. Salah satu upaya yang bisa dilakukan hanyalah memberi alternatif. Contohnya, mengajak anak-anak sekolah untuk tinggal di asrama, agar tidak segera menikah sebelum lulus sekolah. Sebab di sana, kelas 3 SD sudah ditunangankan agar antar keluarga ada perubahan ekonomi-sosial. Sebagai misal, keluarga perempuan bisa minta mesin perahu (ketinting), mesin jahit, atau bahkan jam tangan sebagai bagian dari mas kawin yang seluruhnya akan diserahkan apabila resmi menikah kelak.
Menghadapi kebiasaan semacam itu, penduduk setempat agak susah diberi wawasan.
Namun sejak 2010 mulai nampak buah. Telah banyak anak asrama yang terus bersekolah akhirnya menjadi anggota DPRD, polisi, PNS, dan bahkan banyak yang berkarir di kota lain di luar kabupaten atau provinsi. Mereka menjadi tokoh panutan.
Perkembangan tersebut menginspirasi bahwa asrama bisa menjadi tempat kaderisasi politik budaya, walau hasilnya baru bisa dilihat setelah 10 tahun. Sebagai contoh, dari tempat itu belum ada umat Katolik yang duduk di badan legislatif (DPRD atau DPR). Dulu banyak yang menjadi caleg, tidak ada yang mengalah,sehingga suara terpecah. Belakangan kesadaran politik mulai terbangun. Calon semakin mengerucut dan akhirnya ada yang terpilih. Itulah buah dari apa yang diperjuangkan, cukup membanggakan.
Pastor di sana masih sangat dihargai. Namun bagaimana agar bisa berkontribusi terhadap kemajuan umat atau masyarakat setempat, harus muncul dan keluar dari dalam diri. Kebersamaan di suatu tempat harus dibangun, jadi membangun bersama. Misalnya, bagaimana agar dekat ke pemerintahan. Memang tak semua romo dekat pemerintah, sehingga tak dikenal. Ini akan menyulitkan kerjasama.
Sebagai murid Kristus kita harus jadi garam dan terang supaya dikenal sekitar. Agar dikenal, maka kita harus mau dan berani berjumpa dengan mereka. Melalui perkenalan dan pejumpaan, barulah kita bisa menjadi garam dan terang melalui kerjasama.
Bagaimana mengelola kehidupan sendiri? Dulu sewaktu masih di seminari, jadwal kegiatan sangat padat dan ketat. Setelah di tanah misi semua itu disyukuri karena jadwal yang ketat itu membangun kebiasaan yang baik, semisal kebiasaan bangun pagi, berdoa, dan berkontemplasi. Ketika bertugas sendiri di tanah misi, semua kebiasaan itu otomatis dilakukan. Karena itu harus bersyukur sebab melakukan kebiasaan baik tersebut tak lagi jadi beban. Diri sendirilah yang jadi pendorong.
Kebiasaan melakukan semuanya sendiri menyebabkan sikap tak mau terikat dengan pertolongan orang lain. Apalagi kalau pertolongan itu justru merepotkan mereka, padahal itu dilakukan demi kepentingan diri kita sendiri. Sebagai contoh, saat sakit dan berulang kali harus ke rumah sakit untuk cuci darah, semua dilakukan sendiri. Namun meski semua itu harus dilakukan sendirian, dengan sharing melalu kehadiran dalam pertemuan seperti ini merasa dikuatkan dan doa-doa orang lain sangat mendukung.
Begitulah gambaran tugas seorang oblat. Sebagai oblat jika ditugaskan harus mencintai dan berusaha semampu mungkin. Bisa berkembang total bersama yang dilayani. Semua harus dijalani sendiri. Selainnya adalah doa. Perjuangan rohani dan aspek yang lain harus mengikuti.
Awam juga demikian. Awam, dengan panggilan masing-masing, juga diutus mewartakan kabar sukacita bagi sesama. Itu hanya bisa dilakukan apabila mau berjumpa dengan sesama, mungkin itu tetangga atau masyarakat sekitar. Perjumpaan membuka peluang untuk perkenalan. Setelah kenal satu sama lain, saat itu terbuka peluang untuk bekerja sama. Ada kebersamaan. Dasar kebersamaan itu adalah ikatan dengan Tuhan. Dalam kebersamaan ada dukungan. "Dan dukungan itulah yang saya rasakan melalui doa para umat yang mendoakan saya. Dengan doa mereka, saya merasa tidak sendiri"***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar