Rabu, 05 Februari 2020

Pertemuan ke-13 KDM Yogyakarta:
Sharing tentang Kasih


Sesuai tema yang dipilih, tema sharing pada pertemuan ke-13 KDM Yogyakarta adalah pengalaman memaknai dan menghidupi kasih.
     Ada enam peserta yang membagikan pengalamannya pada kesempatan itu.  Tiga dari OMI, yaitu Rm. Simon Heru OMI, Pranovis Ajun, dan Br. Novis Marianus.  Sedang tiga dari awam yaitu:   P  Rondang Pasaribu, V Jaya Supeno,   dan Wellem Dotulong.
     Berikut petikan sharing masing-masing.

Rm. Simon Heru OMI:
     Sewaktu kecil, mengasihi diartikan karena ada ketertarikan. Saat remaja, berkat arahan orangtua, sudah berusaha mengasihi dengan bertegur sapa pada siapapun yang dijumpainya, menyapa sesama.  Kasih diwujudkan dalam bentuk perhatian bagi orang sekitar.   
    Sedikit demi sedikit ia mulai mengerti apa yang dimaksud dengan mengasihi secara mendalam.  Sejak masuk OMI, pengenalan dan pemahaman tentang kasih semakin intens. Sebagai frater ia berdoa, “Tuhan berilah saya yang tersulit.” Maka ketia Rm Rudi diutus tugas pastoral ke Australia dan Rm Heru ke ‘hutan pedalaman’, baginya tak soal karena dia memang merasa cocok di hutan dan bisa belajar mencintai orang-orang sederhana. Dengan begitu dia bisa membantu orang-orang yang membutuhkan.
     Baginya, kasih tak meminta balasan. Maka jika orang-orang yang dibantunya lupa berterimakasih, tak masalah. Katanya menegaskan: “Kasih adalah pemberian diri total kepada Allah lewat orang-orang yang dipercayakan kepada saya.”

P Rondang Pasaribu:
     Tak mudah baginya untuk mempraktikkan ajaran mengasihi sesama. Di kota tempatnya dibesarkan, dulu tak ada pengemis atau gelandangan (dua puluh tahun kemudian ketika ia pulan, pengemis dan gelandangan sudah banyak). Kiri kanan sama saja dengan dirinya. Karena itu tidak terbentuk pengalaman melihat ada orang yang harus dikasihi.
     Mulai terdorong semakin merenungkan kasih ketika ada romo yang mengatakan bahwa untuk untuk menghayati bagaimana iman tentang kasih itu dihidupi dan dipraktikkan, adalah dengan selalu memandang salib yang ada korpusnya. Setiap orang harus mengasihi Allah ( yang dilambangkan oleh palang salib vertikal) dengan cara mengasihi sesama (yang dilambangkan palang salib horisontal), kalau perlu dengan pengorbanan sehabis-habisnya sebagaimana diteladankan Yesus yang tersalib. 
     Lantas muncul pertanyaan di benaknya: Mengasihi sesama sampai sehabis-habisnya bagaimana? Ia ingat dalam Injil disebutkan bahwa Tuhan Yesus mengajarkan, jangan hanya mengasihi orang yang dikasihi saja atau saudara sendiri saja. Jika itu yang dilakukan, seseorang tak ada bedanya dengan penjahat atau penyamun.
    Tuhan Yesus menuntut siapa pun untuk mengasihi dengan standar tinggi.  Kalau tidak begitu, tidak beda dengan penjahat.
    Berdasarkan pemahaman seperti itu, ia sadar mempraktikkan kasih itu tidak mudah. Maka ia belajar mengasihi orang lain melalui hal-hal kecil, seperti menyapa orang lain yang tidak dikenal. Kemudian ia mencoba menahan diri saat ada orang berbuat kesalahan kepadanya. Ia menyadari tidak bisa lagi sesuka hati mencibir, marah, atau memaki orang yang bersalah itu. Sebaliknya, ia harus prihatin mengapa mereka berbuat salah dan tanpa sadar itu sudah merugikan orang lain. Dan kemudian ia harus mendoakan mereka, agar sadar bahwa kesalahan yang diperbuat merugikan orang lain dan kemudian berubah.

Pranovis Ajun:
    Pengalaman dikasihi membuatnya tergerak untuk mengasihi. Hal ini dialami saat terbaring sakit DBD di RSUD Sintang dan dikunjungi dan didoakan Mgr. Samuel Oton Sidin.
    Dia melihat bahwa kunjungan dan doa itu sudah menjadi kegembiraan baginya dan pasien lainnya. Itu memotivasi seluruh pasien untuk segera sembuh. Melihat teladan Mgr Samuel itulah dia tergerak untuk melakukan hal serupa bagi orang-orang sakit. Ia mengunjungi dan mendoakan mereka.

Novis Br. Marianus:
     Kasih itu bagi Br. Marianus adalah lemah lembut, hal ini nampak paling jelas dari cara orangtua yang mengasihi anak-anaknya.
     Baginya pengalaman dikasihi orang tua adalah hal luar biasa. Dia melihat figur Yesus yang mengasihi umat sebagai sosok yang feminin sekaligus maskulin, bisa berperan seperti ibu atau bapak yang mengasihi anak-anaknya.

V Jaya Supena:
     Kasih Allah berpusat pada kita dan berpuncak pada Ekaristi. Perjalanan rohani St. Katarina menunjukkan kasih Allah pada sesama membuat Pak Jaya tersentuh lebih memahami kasih Allah pada sesama.
     Kisah St. Katarina dimaknai sebagai ajakan menghayati Ekaristi dengan mengembangkan kasih. Hal yang tak mudah, bahkan bagi biarawan biarawati.

Welem Dotulong:
     Dalam kehidupan keseharian mempraktikkan kasih antara lain dengan membeli singkong atau sayur dari ibu pedagang yang sudah sepuh, atau makan di warung yang tampak sepi, lalu mendoakan mereka.
     Jika ada ambulans lewat ikut prihatin, ia mendoakan orang yang di dalamnya. Lewat tindakan sederhana seperti dimintai tolong oleh romo, dia mau beberapa waktu meninggalkan pekerjaan dan membantu dengan tulus.
    Tuhan begitu baik kepadanya ia tak pernah kekurangan, maka dia selalu tergerak mengasihi sesama lewat hal-hal kecil yang dilakukannya, dalam bentuk perhatian dan doa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar